Ada CINTA diantara cinta I

Tring ting…
Nada adanya pesan diponsel Afra. Lagi-lagi dan lagi, setiap pukul 21. 00 pesan panjang berisi mutiara kata dari seseorang selalu hadir dilayar ponselnya. Sudah 2 bulan tidak pernah absen.
Apakah dia tidak lelah setiap hari menyempatkan diri mengirim pesan untukku, sedang aku selama ini selalu menujukkan sikap tak peduli padanya. Bahkan rasanya aku yang lelah dengan semua yang dia lakukan. Afra membatin.
Matanya berusaha mengeja setiap bait yang tertulis dalam pesan itu. Pesan yang diterima Afra dari Faris. Afra mengenalnya 5 bulan yang lalu, mereka sama-sama berkecimpung disebuah komunitas yang memberdayakan anak-anak jalanan di daerah Jakarta. Selama ini Afra merasa biasa-biasa saja dengan sikapnya terhadap Faris. Tapi, entah mengapa setelah pertemuan di acara Salam Relawan untuk Anak Jalanan tempo lalu, Faris kerap mengiriminya pesan yang berisi mutiara kata, kadang kalimat-kalimat motivasi tentang kehidupan, kadang pula tentang cinta. Afra sering kali risih dengan segala sikap yang  ditunjukkan Faris. Ingin sekali  Afra membalas pesan dari Faris “Stop faris jangan mengirimiku lagi SMS - SMS yang akan menggoyahkan imanku”. Tapi, niat itu selalu diurungkannya.
Ah…nanti disangka keGeeran lagi, siapa tahu Faris tidak mengirim pesan seperti itu untukku saja. Bisa jadi dia cuma berbagi motivasi untukku dan untuk teman-teman yang lain. Terlalu sempit pemikiranku jika aku katakan bahwa faris memiliki perasaan yang berbeda padaku. Ah tidak!!! Malunya aku. Celoteh Afra dalam hati.
Lalu, dibiarkan SMS-SMS dari Faris dengan sikap tidak pedulinya, tidak pernah dibalas satu pun. Afra pikir suatu saat nanti dia akan mengerti dengan sikapnya dan Faris akan lelah sendiri dengan ketidakpeduliannya. Harap Afra begitu.
Tring ting…nada adanya pesan diponselnya kembali berbunyi. SMS dari Jihan.
>> “Assalamu’alaikum..Afra tolong informasikan ke temen-temen, ahad ini halaqoh ditempatku ya!. Afwan, pesen dari ummi tadi , katanya ada keperluan keluarga. Jadi kita liqo’ mandiri aja. Syukran”.
<<” Wa’alaikumsalaam..insya Allah.” Balas Afra singkat.
Ahad, ba’da ashar, sepulangnya dari mengajar anak-anak jalanan yang ada dijakarta, Afra langsung meluncur ketempat Jihan. Inilah rutinitas akhir pekannya setelah kuliah dan bekerja. Rutin mengikuti ta’lim untuk menambah wawasan Islamiyahnya.
***
Pukul 16. 15 WIB
Mereka sudah berkumpul, duduk bersila membentuk lingkaran. Membacakan ayat-ayat cinta-Nya bergiliran. Ketika tiba giliran Aina, gadis yang menyukai warna pink ini dan saat itu pun mengenakan stelan muslimah berwarna pink. Gadis yang fasih berbahasa arab dan terkenal dengan kelembutan hatinya. Tiba-tiba terisak dalam bacaan tilawahnya. Semua sorot mata yang hadir dalam lingkaran itu berpindah pada wajah sendu Aina. Mereka paham betul mengapa Aina sampai meneteskan air mata, mereka tahu bahwa Aina memahami arti dari ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang dibacanya. Karena Aina adalah salah satu  mahasiswi di Prodi Sastra Arab. Mereka hanya termangu dalam tatapan dan beralih kembali pada mushaf yang mereka pegang masing-masing. Menyimak dengan khusyu’ sambil sesekali memahami artinya lewat terjemahan. Karena hanya Aina yang pandai berbahasa Arab. Ayat-ayat yang sedang dibaca adalah ayat-ayat yang termaktub dalam Surah Al-waqi’ah. Ayat-ayat terakhir dari surah ini menceritakan tentang golongan kiri yang akan memperoleh azab neraka. Sebab itulah yang membuat Aina meneteskan airmata ketika membacanya.
“Bahas tentang apa nih, kebetulan ini pekan kelima, jadi seharusnya hanya program silaturahmi?” Jihan sebagai mas’ul (ketua) membuka acara selanjutnya dengan pertanyaan. Setelah sebelumnya diawali dengan kultum singkat yang dibawakan oleh Afra.
“ Bahas tentang ta’aruf aja kak..”Kayla menyumbangkan suara. Ragu-ragu.
“Ehem..”. ditanggapi dengan candaan oleh Riana.
“Cie..cie…yang udah niat”.  Iffah ikut menyambung candaan dari Riana.
“ Eh..bukan gitu, kita kan memang harus tahu masalah-masalah seperti itu, harus lebih paham tentang cara berkenalan yang Syar’i.” Kayla membela diri. Wajahnya berubah warna.
Teman-temannya yang melihat seketika tertawa.
‘Iyee…nggak apa-apa, boleh aja koq” sambung jihan.
Tentang ta’aruf. Materi ini selalu ‘meriah’ untuk diperbincangkan oleh para gadis yang akan memasuki usia berumahtangga seperti mereka. Kedelapan muslimah ini saling memberi tanggapan dan masukan yang pada akhirnya  beralih ke acara curhatan.
Tentang si Ali yang kerap kali menelpon Kayla, membuat Kayla ilfeel dengan sikapnya. Tentang Susi yang sudah berniat ingin membina rumah tangga, akan tetapi belum ada ikhwan yang cocok setelah beberapa kali ta’aruf. Tentang Jihan yang ditawarkan untuk ta’aruf oleh temannya, tapi Jihan belum mendapat SIM (Surat Izin Menikah ) dari abinya sebelum wisuda akhir tahun ini. Jihan hanya bisa pasrah dengan keputusan keluarganya. Dia merasa sudah saatnya menikah tanpa harus menunggu wisuda terlebih dahulu, karena ikhwan yang diceritakan sahabatnya sepertinya ikhwan yang sholeh.
“ Apapun yang terjadi pada kisah kita, semua tidak terlepas dari scenario Allah. Manusia hanya memiliki keinginan-keinginan dan harapan, sedang Allah yang memiliki ketetapan. “ kalimat terakhir yang diucapkan Jihan untuk menenangkan hatinya.
Desah nafas dan segaris senyum dibibirnya menampakkan keikhlasan akan segala yang dijalaninya sekarang. Teman-teman yang lain menanggapi dengan menganggukkan kepala.
Aina yang sedari tadi diam menyimak cerita-cerita dari temannya akhirnya ikut ambil bagian.
“ Aina sedang bingung teman-teman, beberapa hari ini ada ikhwan yang sering menanyakan tentang Aina kepada sahabat Aina dikampus. Sahabat Aina bilang ikhwan itu ingin ta’aruf denganAaina. Dia menanyakan no. HP ummiAaida. Aina bingung harus bagaimana, setahu aina ikhwan itu adalah dosen Aina sendiri. Aina malu jika beliau sedang mengisi kuliah dikelas Aina.” Cerita Aina. Wajahnya ditekuk hingga hanya terlihat bulat kepalanya.
Pembincangan menjadi serius. Semua terfokus pada cerita aina yang menunggu tanggapan dari mereka.
“ Kamu sendiri bagaimana, sudah siap untuk ta’aruf?” Afra menanggapi dengan melemparkan pertanyaan pada Aina.
Aina menggelengkan kepala. “Aina ingin selesaikan kuliah dulu.” Jawabnya.
“ Aina telah menolak permintaan ta’aruf beliau. Aina malu ketika berhadapan dengan beliau karena beliau mengajar di kelas Aina juga.” Sambung Aina dalam tunduknya.
“Aina…” panggil Jihan. Mengharap Aina mengangkat pandangannya.
“Iya kak .“ Aina mengangkat wajahnya, tatapannya tertuju pada Jihan.
“ Jika Aina telah memutuskan seperti itu tidak perlu malu,  jika Aina memberi harapan tapi Aina belum siap. Itu patut membuat Aina malu. Terutama malu pada Allah. Kakak yakin ikhwan itu pasti juga mengerti tentang keadaan Aina.” Jihan mencoba menenangkan perasaan Aina. Aina mengangguk diiringi senyum.
“ Aina akan coba focus pada keputusan Aina dan biasa saja menghadapi dosen Aina itu “
Cerita Aina mengakhiri pertemuan pekan itu. bersambung.....